Apa batasan dari sebuah kreatifitas? Jika kreatifitas tersebut ditujukan untuk kepuasan pribadi, bisa jadi batasannya adalah daya kreasi orang itu sendiri, tetapi jika kreatifitas tersebut ditujukan untuk tujuan yang lainnya, bisnis misalnya, ceritanya bisa lain. Namun, bisa juga terjadi sebaliknya, dimana keterbatasan bisa membuat orang menjadi sangat kreatif.
Begitu juga yang aku alami dalam proses penciptaan “product” fitinline. Ya “product”, karena sebenarnya yang dijual fitinline bukan product jadi seperti pada umumnya tetapi personalized product. Fitinline mengusung tema polite wardrobe (pakaian sopan), di mana product fashion yang dijual selalu mempertimbangkan norma-norma kesopanan dan universalitas (bisa dipakai oleh semua golongan). Walaupun batasan kesopanan bisa saja diperdebatkan namun aku rasa semua setuju bahwa secara umum pakaian sopan adalah yang tertutup .. hehe tertutup sendiri juga bisa diartikan berbeda-beda ya, tapi sudahlah ini definisi ala fitinline :). Oleh karena itu ketercukupan material menjadi yang utama, dalam hal ini kain batik sebagai media dasarnya. Bagaimana berkreasi dengan kain batik yang umumnya hanya sepanjang 2 meter untuk diolah menjadi pakaian sopan dengan mempertimbangkan aturan-aturan dasar dalam pengolahan kain batik, seperti motif yang harus menyambung, penempatan motif harus tepat, dll yang ternyata media sepanjang 2 meter tersebut tidaklah cukup. Perlu cara mensiasatinya, perlu kreatifitas untuk mengolahnya. Hasilnya? .. nantikan product fitinline 🙂
Namun ada harga yang harus dibayar dari hasil kreatifitas tersebut, di antaranya biaya material meningkat, effort bertambah yang mau nggak mau akan berimplikasi pada harga jual product. Harga jual akan sangat mempengaruhi segment pasar yang dituju. Makin jauh harga jual dari kemampuan daya beli masyarakat pada umumnya, pasarnya akan makin sempit, artinya hanya untuk segment orang-orang tertentu, karena hanya orang-orang tertentu yang akan mampu membelinya. Fitinline ditujukan untuk segment pasar yang secara ekonomi cukup mampu untuk membelanjakan uangnya untuk kebutuhan fashion dan aware dengan kualitas product fashion. Namun demikian, Fitinline ke depannya diharapkan bisa dinikmati oleh sebanyak mungkin masyarakat, sehingga harga jualnya sedapat mungkin disesuaikan dengan kemampuan daya beli masyarakat, yang artinya banyak hal yang harus disiasati, dengan tidak menurunkan kualitas product.
Terkait dengan harga, aku melakukan beberapa survey. Dari butik-butik dengan brand ternama sampai dengan toko-toko grosir. Di sebuah butik dengan brand ternama, harga kain batik bisa ditawarkan sangat tinggi. Misalnya untuk kain batik katun full tulis dengan warna alam harganya bisa mencapai 900rb rupiah .. heleh heleh, kalau harga kainnya sendiri sudah segitu mahal, harga bajunya tentu lebih mahal lagi. Tapi bisa dilihat pada umumnya butik-butik mahal sepi pengunjung, karena hanya kalangan tertentu yang bisa menjadi pelanggannya. Hal ini tentu berbeda dengan dengan toko-toko grosir/obral murah, yang biasanya dipenuhi oleh pengunjung. Harga baju “batik” hanya berkisar 50 – 70 rb per potong … bisa semurah itu ya, padahal harga kain batiknya saja tidak bisa dibeli seharga itu. Ya tentu materialnya bukan batik tetapi “batik”, alias kain yang bermotif batik.
Kain batik dibuat dengan filosopi membatik. Ada tata cara membuatnya supaya benar-benar bisa disebut kain batik mulai dari ngemplong, nyorek, mbathik, nembok, medel, ngerok, mbironi, nyoga, nglorod. Ribet ya? … itu kenapa proses pembuatan kain batik memerlukan waktu yang lama. Sementara kain dengan motif batik dibuat dengan metode printing (mencetak) motif batik di atas kain. Dari skala produksinya juga sangat jauh. Usaha kecil dengan memperkerjakan 5 orang untuk produksi batik printing, mampu menghasilnya 1000 lembar kain per bulan, sedangkan usaha batik tulis umumnya per orangnya hanya mampu menghasilkan 1 kain batik per bulan.
Selain serbuan kain bermotif batik alias batik printing dari China dan India, ternyata produksi batik printing juga sudah mulai diadopsi oleh pengrajin batik di pedesaan. Aku pernah berkunjung ke salah satu pengrajin yang selain memproduksi batik tulis juga memproduksi batik printing. Hal ini dilakukan untuk mengejar kapasitas produksi karena demand dari masyarakat untuk memperoleh batik dengan harga murah saat ini cukup tinggi. Secara pengerjaan, batik printing juga “lebih rapi”, garis-garis motifnya lebih presisi karena umumnya dikerjakan dengan menggunakan komputer, sedangkan batik tulis walaupun motifnya sudah dibuatkan polanya tetapi hasil akhirnya tergantung dari goresan tangan si pembatik. Batik tulis lebih seperti sebuah karya seni, sayangnya saat ini mungkin belum banyak orang yang bisa mengapresiasi karya seni, atau bisa jadi karena tidak sebanding dengan daya beli tadi, maklum batik tulis harganya jauh lebih mahal daripada batik printing.
Bisa dibayangkan jika proses membuat batik printing sudah masuk ke sentra pengrajin di pedesaan bisa-bisa tradisi membatik mulai ditinggalkan. Sering terpikir, bagaimana masa depan dari tradisi membatik ini. Jika tradisi ini dimodernisasi tentu akan kehilangan filosofinya. Namun masih ada harapan dari tradisi membatik ini, terbukti saat ini masih cukup banyak permintaan akan kain batik. Mungkin pasarnya memang berbeda. Penggemar batik punya caranya sendiri untuk memaknai batik. Selain dari motifnya, ada yang bilang salah satunya dari baunya. Ya, bau malam yang dipakai untuk membuat batik biasanya masih masih menempel pada kain batik sangat khas. Fitinline menggunakan material batik asli (baik tulis, cap maupun kombinasi), sebagai salah satu upaya untuk turut serta melestarikan tradisi nusantara :). Kalau kata pak Sanny, “asal kamu bisa menjualnya saja” … ya, bisnis intinya memang bagaimana kita bisa menjualnya. Dibutuhkan lagi kreatifitas untuk menjual product tentunya.
Membangun dan menjalankan bisnis sendiri bagi aku merupakan sebuah proses kreatif, dimana kita dituntut untuk selalu bisa berfikir kreatif untuk dealing dengan uncertain conditions .. akan banyak ditemui keterbatasan-keterbatasan yang bisa menjadi kendala atau bisa juga membuat kita menjadi sangat kreatif . The choice is yours …
wah..perjalanan mulainya lumayan juga ya..is kemana-mana…untuk survey bahan..survey pegawai..survey daya minat…kemarin jalan-jalan di mall..ada lihat batik sepertinya asli dari kacamata awam harga 185rb…kata penjualnya dari solo..bedain batik asli sama “batik” gimana ya?
iyah In, banyak banget yang harus dikerjakan .. dari A to Z, karena aku bener2 mulai dari 0, kalo nggak mo repot sih ‘don’t try this at home!” hehehe ..
Beda kain batik dengan “batik” salah satunya dengan membandingkan bagian luar (right side) dan bagian dalam (wrong side) kain. Kalau batik, motifnya menembus sampai bagian dalam kain, karena malam yang digoreskan menembus sampai ke bagian dalam. Kalau “batik”, motifnya hanya di bagian luar, bagian dalam pudar. Bisa juga dari bau-nya, bau tinta dengan bau malam kan beda 🙂
Batik memang budaya warisan nenek moyang yg perlu dilestarikan tinggal bagaimana kita sebagai generasi masa kini melestarikan dan mengenalkan batik ke dalam dan luar negeri Bravo fitinline don’t give and do not give up.
Umhh, bisa jadi ntar bikin seragam batik buat Solusi247 dund mbak. Bikin terobosan corak batik khas yang terbaru mbak, “Batik Kebumen” ^_^
hehehehe .. boleh boleh aja, ditunggu pesenannya 😀
Batik kebumen dah ada loh, tapi belum aku masukkin ke databaseku 😀 .. belum sempet ‘belanja’ ke sono